Rabu, 02 April 2008

Perlindungan Konsumen dalam E-commerce

Teknologi informasi mengalami kemajuan yang sangat pesat. Berbagai penemuan di bidang teknologi semakin mendorong pesatnya teknologi informasi. Media internet merupakan bagian dari teknologi informasi yang telah menunjukkan peranannya dalam berbagai aspek kehidupan. Keunggulannya bukan hanya terletak pada fungsinya sebagai alat komunikasi melainkan juga sebagai sarana pendidikan, hiburan, dan juga yang mulai marak dikenal masyarakat akhir-akhir ini yaitu sebagai sarana perdagangan. Sebagai sarana perdagangan atau yang lebih dikenal sebagai electronic commerce (e-commerce), teknologi informasi telah banyak mendorong perkembangan ekonomi. Hal ini nampak pada perekonomian negara-negara maju seperti Amerika Serikat, Kanada, dan negara-negara lain di Eropa.

Sebelum membahas tentang perlindungan konsumen dalam e-commerce seharusnya mengetahui jenis-jenis dari e-commerce agar lebih mengenal tentang e-commerce lebih jauh dan kita dapat membedakannya mana yang lebih cenderung dengan bisnis kita dalam e-commerce. Jenis-jenis e-commerce antara lain :
1. Business to Business (B2B), yaitu kegiatan bisnis yang terjadi antar perusahaan atau produsen

2. Business to Consumer (B2C), yang terjadi pada pelelangan, perusahaan penjual jasa dan perusahaan retai online
3. Consumer to Business (C2B), yaitu kegiatan bisnis yang terjadi di antara konsumen dan produsen
4. Government to Business (G2B), yaitu kegiatan bisnis yang terjadi di antara pemerintah dan pengusaha
5. Government to Consumer (G2C), yaitu kegiatan bisnis yang terjadi di antara pemerintah dan konsumen

Dalam praktek perdagangan elektronik (e-commerce), ada beberapa undang-undang yang dapat dikaitkan dengan transaksi jenis ini seperti UU Perlindungan Konsumen (Undang-undang No.8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen) yang digunakan untuk melindungi pihak pembeli (konsumen). Namun menurut Edmon Makarim ( pakar Hukum Telematika ), salah satu kelemahan penggunaan UU Perlindungan Konsumen untuk melindungi pihak pembeli (konsumen) dalam transaksi e-commerce adalah hanya dapat diberlakukan kepada pelaku usaha yang bergerak di dalam wilayah hukum Republik Indonesia.

Walaupun belum menjangkau e-commerce secara keseluruhan tetapi untuk perusahaan yang jelas alamat dan kedudukannya (di Indonesia), bila si pelaku usaha tersebut melakukan wanprestasi maka ia tetap dapat dituntut menurut hukum Indonesia. Bila pelaku usahanya berada di luar yuridiksi hukum kita, maka persoalan pilihan hukum ini tergantung dari perjanjian antara pihak penjual dan pembeli (dengan cara mencantumkannya dalam salah satu klausul di perjanjian e-commerce). Perdagangan dalam internet (e-commerce) pastinya terdapat suatu peraturan-peraturan dalam bidang hukum. Tetapi pada kenyataannya Indonesia belum memiliki perangkat hukum yang mengakomodasi perkembangan e-commerce. Perlindungan konsumen di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen No. 8 Tahun 1999 (UUPK). Namun, masih banyak masyarakat (konsumen) yang belum pernah mendengar tentang keberadaan UUPK dan belum memiliki pemahaman yang memadai mengenai hak-haknya sebagai konsumen.

Permasalahan utama berkaitan dengan perlindungan konsumen dalam B2C adalah keamanan yang disebabkan oleh adanya kendala dalam menjaga kerahasiaan transaksi (confidentiality). Kerahasiaan transaksi di dalam internet kurang terjamin, terutama karena Internet merupakan jaringan publik yang dapat diakses oleh setiap orang yang yang terhubung dengannya. Selain itu juga kendalanya adalah Menjaga keutuhan transaksi (integrity) karena bisa saja setiap orang, dengan ketrampilan memadai mengubah data dalam komputer dengan mudah tanpa meninggalkan jejak.

Masih banyak lagi dalam permasalahan keamanan dalam e-commerce yaitu sulit menentukan dan memastikan status subyek hukum, dalam hal ini keautentikan dan kewenangan (authentication and authorization) dari para pihak yang terlibat, baik pihak konsumen maupun produsen. Sekalipun masalah-masalah tersebut dapat diatasi secara teknis, namun demikian perumusan konstruksi perlindungan hukumnya tidak akan sesederhana itu. Kegiatan transaksi bisnis, interaksi antara produsen dengan konsumen, adalah fenomena yang dapat diasumsikan akan terus berlangsung dan langgeng. Inovasi teknologi, dalam hal ini pengamanan jaringan dan informasi akan terus pula berganti-ganti, sejalan dengan semakin canggihnya upaya untuk menggagalkannya.

E-commerce pada dasarnya merupakan model transaksi jual-beli modern
yang mengimplikasikan inovasi teknologi seperti internet sebagai media transaksi. E-commerce merupakan model perjanjian jual-beli dengan karakteristik yang berbeda dengan model transaksi jual-beli konvensial. Beberapa permasalahan hukum yang muncul dalam bidang hukum ecommerce yaitu :
1. otentikasi subyek hukum yang membuat transaksi melalui internet.
2. saat perjanjian berlaku dan memiliki kekuatan mengikat secara hukum.
3. obyek transaksi yang diperjualbelikan
4. mekanisme peralihan hak
5. hubungan hukum dan pertanggungjawaban para pihak yang terlibat dalam transaksi baik penjual, pembeli, maupun para pendukung seperti perbankan, internet service provider (ISP), dan lain-lain
6. legalitas dokumen catatan elektronik serta tanda tanan digital sebagai alat bukti
7. mekanisme penyelesaian sengketa
8. pilihan hukum dan forum peradilan yang berwenang dalam penyelesaian sengketa

Dalam perjanjian e-commerce ada beberapa teori yang berkembang untuk menentukan hukum mana yang digunakan atau berlaku, yaitu :
1. Mail box theory (Teori Kotak Pos)
Dalam hal transaksi e-commerce, maka hukum yang berlaku adalah hukum di mana pembeli mengirimkan pesanan melalui komputernya. Untuk ini diperlukan konfirmasi dari penjual. Jadi perjanjian atau kontrak terjadi pada saat jawaban yang berisikan penerimaan tawaran tersebut dimasukkan ke dalam kotak pos (mail box).
2. Acceptance theory (Teori Penerimaan)
Hukum yang berlaku adalah hukum di mana pesan dari pihak yang menerima tawaran tersebut disampaikan. Jadi hukumnya si penjual.
3. Proper Law of Contract
Hukum yang berlaku adalah hukum yang paling sering dipergunakan pada saat pembuatan perjanjian. Misalnya, bahasa yang dipakai adalah bahasa Indonesia, kemudian mata uang yang dipakai dalam transaksinya Rupiah, dan arbitrase yang dipakai menggunakan BANI, maka yang menjadi pilihan hukumnya adalah hukum Indonesia.
4. The most characteristic connection
Hukum yang dipakai adalah hukum pihak yang paling banyak melakukan prestasi.

Kendala dalam internet perdagangan (e-commerce) adalah keamanan system, baik yang sifatnya fisik seperti perangkat komputer dan jaringannya maupun isi informasi/transaksinya. Dalam hal ini biasanya orang luar yang tidak menjadi anggota e-commerce mengambil keuntungan Oleh karenanya, e-commerce harus disertai dengan penerapan sistem keamanan seperti :
1. Privacy
kemampuan untuk mengontrol siapa yang dapat atau tidak membuka informasi dan dalam kondisi apa hal itu bisa dilakukan. Konsumen berhak untuk mendapatkan privacy dalam menggunakan sistem informasinya, yaitu dengan menjaga kerahasiaannya serta mendapatkan keterangan atau pemberitahuan sejauh mana keamanan yang ada pada sistem informasi tersebut, serta perlindungan informasi yang dihasilkannya (confidential information).
2. Availability
kemampuan untuk mengetahui kapan pelayanan informasi dan komunikasi dapat atau tidak tersedia.
3. Blocking
kemampuan untuk memblokir penyusup atau informasi yang tidak dikehendaki.

Di Indonesia, perlindungan hak-hak konsumen dalam e-commerce masih rentan. Undang-undang Perlindungan Konsumen yang berlaku sejak tahun 2000 memang telah mengatur hak dan kewajiban bagi produsen dan konsumen, namun kurang tepat untuk diterapkan dalam e-commerce. Karakteristik yang berbeda dalam sistem perdagangan melalui internet tidak cukup tercover dalam UUPK tersebut. Untuk itu perlu dibuat peraturan hukum mengenai cyberlaw termasuk didalamnya tentang e-commerce agar hak-hak konsumen sebagai pengguna internet khususnya dalam melakukan transaksi ecommerce dapat terjamin.

Keamanan Transaksi e-commerce. Keamanan merupakan komponen yang vital dalam pelaksanaan e-commerce. Pada saat transaksi , konsumen (pembeli) dan penyedia jasa, barang maupun informasi masing – masing harus dapat "yakin aman" bahwa mereka melakukan transaksi hanya diketahui oleh kedua belah pihak saja, dan tidak ada pihak lain yang menyusup dan mencuri data – data penting atau bahkan memanipulasi.

Sebaiknya perlindungan konsumen dalam e-commerce harus benar-benar diperhatikan. Dengan adanya peraturan Undang-Undang para konsumen atau pembeli merasa nyaman apabila terjadi suatu permasalahan (kerugian), karena setidaknya terdapat peraturan dan sanksi yang akan diberikan kepada pelaku usaha yang melakukan kecurangan. Dengan cara tersebut para masyarakat (konsumen) tidak ragu lagi dalam menggunakan internet dagang (e-commerce). Mungkin pemerintah sebaiknya memperbaiki kelemahan atau kekurangan Undang-Undang dalam perlindungan konsumen dalam e-commerce. Disamping itu harus ada dukungan dari semua pihak agar e-commerce dapat berjalan dengan lancar tidak ada yang saling dirugikan antara pihak satu dengan pihak lainnya.


DAFTAR PUSTAKA
http://torz.wordpress.com/2007/08/12/perlindungan_konsumen_dalam_e-commerce
http://www.solusihukum.com/artikel/artikel31.php
http://digilib.ltb.ac.id
http://www.lkht.net/artikel_lengkap
http://www.gs1.or.id
http://www.btn.co.id
http://hukumonline.com/link_detail
http://hamsahthefutureleader.wordpress.com
http://studentsUKdw.ac.id
http://bimoseptyop.blogspot.com






Tidak ada komentar: